Pertandingan Minggu Ke-1 (18 Juli 2010) : SSB Kabomania berhadapan dengan SSB Ricky Yakobi berkesudahan dengan skor 2-0 untuk SSB Kabomania.
Pertandingan Minggu Ke-2 (25 Juli 2010) : SSB Kabomania berhadapan dengan SSB GOR Ragunan berakhir dengan skor 0-1 untuk SSB GOR Ragunan.
Untuk pertandingan selanjutnya akan kami up-date terus di home page ini.
Cuplikan dari Harian "Kompas"
Tak ada yang meragukan kegairahan suporter sepak bola di Indonesia yang dikenal fanatis saat mendukung kesebelasannya. Namun, suporter Indonesia juga dikenal karena sering bikin onar dan sering terlibat kerusuhan yang membuat persepakbolaan negeri ini semakin terpuruk.
Citra itu mencoba dihapus oleh Kabomania, kelompok suporter klub Perikabo Kabupaten Bogor. Salah satunya dengan lebih terlibat dalam upaya pembinaan pemain dengan mendirikan sekolah sepak bola (SSB).
”Suporter bukan hanya bertugas mendukung klubnya saat bertanding di lapangan. Salah satunya, kami berpikir kenapa tidak melakukan pembinaan pemain muda. Untuk itu, kami mendirikan sekolah sepak bola. Siapa tahu, nantinya sekolah ini bisa melahirkan pemain yang bisa masuk tim Persikabo,” kata Dicky Dompas, ketua kelompok suporter Persikabo.
Pada 2007, berdirilah SSB Kabomania. Mereka menampung anak-anak di seputaran Bogor yang memiliki bakat dan hobi bermain sepak bola. ”Seperti SSB lainnya, kami membagi siswa menjadi dua kelompok. Ada yang hanya sekadar hobi, ada juga untuk anak yang memang berprestasi,” kata Imam Prasojo, yang kini menjadi Kepala Sekolah SSB itu.
Pembagian itu, menurut Dompas, diperlukan dalam soal pembiayaan. ”Kalau untuk yang sekadar hobi, kami menarik bayaran. Sementara untuk yang prestasi, mereka belajar gratis di SSB ini, semacam beasiswa,” kata Dompas yang menjadi Ketua Yayasan SSB Kabomania.
Menurut Imam, SSB ini murni inisiatif para suporter yang mencoba peduli dengan pembinaan usia dini, tidak ada hubungan manajemen dengan Persikabo. SSB Kabomania beruntung karena memiliki lapangan yang cukup bagus untuk latihan, yakni stadion yang menjadi markas laga kandang Persikabo.
Menurut Imam, pelatihan di tempat ini ditekankan pada teknik dan fisik pemain, selain tidak melupakan mentalnya. ”Mental sangat menentukan. Pemain Indonesia zaman sekarang yang dikejar materi. Begitu kenal uang, mereka malas berlatih. Profesionalitas menjadi hal yang langka,” ujar Imam.
Untuk latihan teknik, kata Dompas, mereka mencoba mengadopsi gaya bermain tim Eropa. ”Saya suka dengan gaya Belanda,” kata Dompas.
Meski berusia relatif muda, prestasi yang ditorehkan SSB Kabomania cukup lumayan. Di Bogor, mereka cukup disegani. Sementara di tingkat nasional, mereka pernah menjadi peringkat kedua Piala Danone untuk kelompok U-12 beberapa waktu lalu.
”Dari festival Danone itu, kami belajar beberapa hal. Salah satunya, kami tidak boleh cepat berpuas diri. Setelah menjadi peringkat kedua, tahun berikutnya kami gagal total. Kami tahu ternyata kami tidak boleh cepat puas. Intinya adalah persiapan. Kami menekankan hal itu kepada murid-murid kami, termasuk kepada tim U-14 yang kini berlaga di Liga Kompas Gramedia,” ujar Imam.
Kemenangan menjadi tujuan Kabomania, tetapi itu bukanlah tujuan akhir. ”Kepuasan bagi para pembina pemain usia dini bukan soal prestasi yang diraih. Prestasi memang membanggakan, tetapi kami akan lebih bangga dan puas jika murid-murid kami nanti bisa memperkuat Persikabo atau bisa masuk tim nasional,” kata Dompas yang bersama Imam mengawasi latihan anak asuh mereka pekan lalu.
Dompas dan Imam menyayangkan masih minimnya kompetisi usia dini di Indonesia yang membuat para pemain muda itu tidak terasah skill dan mentalnya. ”Kalau hanya berlatih terus-menerus, mereka lama-lama menjadi jenuh. Mereka tidak terasah. Kami berharap Liga Kompas bisa terus berlangsung karena inilah yang diperlukan agar sepak bola di Indonesia bangkit,” ujar Dompas.
Target Kabomania saat tampil di Liga Kompas tidak muluk-muluk. Seperti kebanyakan tim lain, mereka menjadikan kompetisi ini sebagai ajang untuk menambah pengalaman dan jam terbang pemain meski mereka akan selalu bertarung habis-habisan meraih kemenangan. Lebih rinci lagi, Dompas mengatakan, target mereka adalah masuk empat besar.
Kabomania meraih hasil mengesankan dengan kemenangan 2-0 atas Ricky Yacobi, tetapi menuai kekalahan 0-1 dari GOR Ragunan. ”Perjalanan masih jauh karena ini sifatnya kompetisi,” kata Imam.
Dompas menambahkan, kompetisi ini akan mengasah pemain usia dini agar terbiasa dengan tekanan. ”Mereka belajar menghadapi persaingan ketat setiap minggu. Mereka juga belajar bagaimana harus berdisiplin menjaga diri agar bisa siap menjalani laga tiap pekan,” kata Dompas.
Cuplikan dari Harian "Warta Kota"
Burhanuddin, Anak Penuh Duka yang Serbabisa
DARI postur tubuhnya, Ahmad Burhanudin kelihatan tak lincah bergerak. Dia agak gemuk dibanding rekan-rekan dan lawan-lawannya. Namun, Burhanuddin ternyata tak seperti yang dibayangkan. Dia bermain gesit dan tak pernah berhenti mengejar bola ketika membela Sekolah Sepak Bola (SSB) Kabomanla. Kabupaten Bogor, melawan SSB Ricky Yacobi. Jakarta Selatan, dalam laga pertama Uga Kompas Gramedia U14. Minggu (18/7), di Lapangan AS-IOP. Senayan, Jakarta.
Berkat ketangguhan fisik dan kecerdasan menghadapi bek SSB besutan eks pemain tim nasional itu. Burhanuddin berhasil mempersembahkan gol pertama buat Kabomania di menit ke-19. Fikri Ramadhan menambah gol di menit ke-43. Kabomania menang 2-0.
"Saya bangga sekali bisa mencetak gol dan menang," ungkap Burhanuddin usai bertanding.
Siswa berusia 14 tahun yang baru naik ke kelas 2 SMP An Nur. Cibinong, Bogor. Itu sebetulnya berposisi sebagai stopper. Namun, dia juga bisa diandalkan di posisi lain, termasuk striker, seperti dipe-rankannya dalam duel kemarin.
"Dia Ini serbabisa," ucap Imam, pengurus SSB Kabomania.
"Iya, saya bisa stopper. striker, gelandang," timpal Burhanuddin.
Ditinggal ibu dan ayah
Burhanuddin memang serbabisa di lapangan, tapi dia sesungguhnya anak yang penuh duka. Inilah mungkin yang sangat membedakannya dengan anak-anak lain, yang nasibnya mungkin Iebih beruntung.
Anak tunggal itu menuturkan. "Ibu saya meninggal waktu saya bayi. Sejak umur 9 bulan, saya tinggal sama kakek," kisahnya.
Ketika ditanya tentang ayahnya. Burhanuddin langsung menjawab, "Bapak kawin lagi, enggak Ingat lagi sama saya."
Sejak itu, lanjutnya, biaya hidup dan sekolah ditanggung sang kakek yang sehari-hari berprofesi sebagai tukang ojek.
Warta Kota harus melepas anak penuh harap yang tinggal di Cimpaeun Tapos, Depok, itu untuk pulang. Truk polisi yang disewa telah menunggu dia dan rekan-rekannya, (flk)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar